Website X2 SMA Mandiri Cirebon

Selasa, 04 November 2008

Cerita Pendek

ANTARA MASALAH DAN KEMISKINAN
Karya Budiana


“ Pertanyaan Ibu mengingatkan saya pada masa kecil. Ketika kecil, mungkin Ibu juga pernah merasakannya. Saya mengalami masa – masa bermain. Ketika bermain saya sering kali lupa waktu, tidak ada waktu yang tenang tanpa bermain. Namun, suatu ketika Ibu saya meminta tolong kepada saya untuk membelikan sesuatu. Saya pun bingung di saat itu antara kenikmatan saya dalam bermain dan suatu tuntunan hati untuk patuh kepada orang tua. Kenikmatan bermain itu membentuk imajinasi dan kreativitas diri yang saya butuhkan untuk ukuran saya pada masanya. Membantu orang tua merupakam kewajiban yang harus setiap anak lakukan kepada orang tuanya. Akhirnya dengan segala keterpaksaan saya, saya pun memenuhi permintaan orang tua untuk membelikan sesuatu.
Lelaki setengah baya dengan berbaju dinas duduk dengan tenang dengan tatapan mata kosong menembus waktu terfokus di suatu titik. Cukup lama ia terdiam sampai bibirnya sedikit mongering. Sementara seorang ibu yang juga separuh baya dengan ditutupi baju dinas yang teramat rapi dengan mengenakan tanda jabatan yang cukup membuatnya berwibawa. Riasan wajah yang di poles make up yang dibingkai dengan tatanan jilbab yang membuatnya terlihat cantik dan penuh obsesi serta feminim tentunya. Keduanya terhalang oleh meja kayu dengan ukuran dan ukiran yang sangat luar biasa bagusnya, tentu harganya juga. Lelaki setengah baya itupun sedikit demi sedikit menatap wajah perempuan setengah baya itu. Perempuan itu pun berusaha tetap tenang untuk menjaga segala wibawa jabatannya. “ Sama dengan pertanyaan yang Ibu sampaikan kepada Saya. Saya dihadakan pada kondisi yang membingungkan antara mengkreasikan gaya kepemimpinan saya selaku kepala desa dan patuh serta megakui terhadap apa – apa yang Ibu sangkakan terhadap desa yang saya pimpin karena Ibu adalah seorang bupati. Saya selalu ingin mewujudkan seluruh impian saya tentang desa yang saya pimpin, sekaligus desa kelahiran saya. Saya selalu bermimpi bahwa desa saya tidak lagi mejadi desa yang tertinggal. Masyarakat di sana haruslah memilik pedidikan yang tinggi, seluruh kekayaan alam tergali dengan baik untuk dimanfaatkan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kesadaran masyarakat akan kesehatan semakin meningkat, adat istiadat, budaya tolong – menolong, toleransi selayaknya orang timur tertanam dengan baik. Budaya daerah pun terjalin dan mampu ditampilkan, sehingga tidak ada lagi warga desa saya yang terjangkit penyakit yang namanya miskin. Dan kini harapan dan impian itu mulai terwujud. Saya pun mulai mewujudkan segala imajinasi dan mimpi – mimpi itu ketika saya mengemban jabatan sebagai kepala desa sekarang ini. Segi pendidikan, sumber daya alam, semuanya saya perhatikan dengan sangat teliti hingga akirnya tidak ada lagi warga saya yang miskin. Apalagi saya anggap desa saya adalah desa unggulan. Coba Ibu lihat bila dibandingkan dengan desa tetangga saya, sangat jauh berbeda. Mana ada di desa tetangga yang warganya pernah menjabat sebagai anggota dewan atau pun terlibat di dalam pemerintahan kabupaten, tapi di desa yang saya pimpin pernah ada warga saya yang pernah menjadi anggota dewan bahkan Ibu tahu sendiri dari desa saya pernah menduduki jabatan sebagai seorang yang berpengaruh di lingkungan pemerintahan daerah. Itukan menunjukkan tingkat pendidikan yang cukup tinggi.” Lelaki itu diam sejenak, “ Tapi Ibu adalah pimpinan saya terkadang saya kurang dapat membantah karena ketakutan saya kalau – kalau ini akan mengganggu program kerja yang pemerintah daerah tetapkan. Saya tahu menjadi pimpinan di masa sekarang benar – benar sulit kalau kita berbuat benar saja terkadang disalahkan apalagi kita berbuat salah. Menjadi pemimpinan itu selalu berkeinginan program kerja yang telah direncanakan agar berjalan dengan baik sesuai dengan yang kita targetkan.” Lelaki itu tertuduk lalu menghela napas panjang. “Namun dalam hal ini Ibu ingin seluruh yang saya cita – citakan dan seluruh imajinasi, impian serta bermain saya ini dianggap sebagai sesuatu yang sia – sia, tiada arti, yang Ibu istilahkan dengan kemiskinan. Saya membantah keras kalau desa saya dikatakan desa miskin.
Seperti biasa dengan nada tenangnya perempuan itu tidak begitu saja menyerah, “Tapi dari laporan staf – staf dan di lapangan saya medapati desa yang Bapak pimpin adalah desa tertinggal – desa miskin – barangkali bukan hanya staf saya yang berbicara hal demikian tapi camat Bapak sendiri yang mengatakan hal tersebut. Malah saya sudah memangil camat, namun katanya Bapak sangat bersikeras untuk tidak mengakui itu, akhirnya ya …saya sendiri memanggil Bapak, untuk mendengarkan sendiri penjelasan yang sebenarnya.”
* * * *
Lelaki separuh baya itupun pulang meninggalkan Pendopo. Diambilnya sepeda motor dinasnya dan mulailah ia berjalan pulang. Sepanjang pulang ia terus berpikir dengan dada sedikit kesal. Ia menggerutu, “ Enak saja desa saya desa tertinggal – miskin - saya sudah capek banting tulang mewujudkan desa unggulan dengan sepenuh hati, penuh rasa cinta, kasih sayang, seluruh waktu dan urusanku yang tidak begitu penting selalu saya nomor duakan bila sudah berurusan dengan masalah desa, bahkan waktu unuk keluarga sendiri sering saya tinggalkan bila sudah berkaitan dengan pembangun desa.” Sekilas ia pun membayangkan betapa malunya ia kalau di rapat antar kepaa desa atau pun kepala – kepala pemerintahan daerah di kabupaten, lalu desa saya di masukkan ke dalam desa miskin, betapa malunya ketika dibacakan dan salah satu dari yang dibacakan itu tertulis nama desa saya sebagai desa miskin. Miskin… miskin…kin…kin. Seluruh mata yang hadir itu akan melihat kearahku, walau mereka mungkin biasa, lirikan dan tatapannya pun biasa tapi hati mereka tertawa menyela dan mencibir. ‘Oh ini pimpinan warga miskin’.”
Tak terasa akhirnya sampai pula lelaki itu di desa yang ia puja – puja, setiap bertemu dengan warganya yang berada di pinggir jalan para warga pun menyapanya seolah menaruh rasa hormat kepada lelaki itu, lalu ia pun membalasnya tanpa rasa segan seolah telah akrab. Tiba – tiba motor kepala desa itu mengerem mendadak karena ada seekor anak ayam lari menyebrang jalan, hampir tertabrak. Para warga yang melihat kejadian itu pun berteriak cemas dan setelah itu tertumpah senyum lega. Para warga lain yang mendengar teriakan itu pun keluar ingin mencari tahu ada apa sebenarnya. Kepala desa itupun tetap senyum dan menyapa dengan terus melaju sepeda motornya.
* * * *
Mungkin tidak terlalu banyak orang yang suka dengan rapat, buktinya di DPRD yang berisi orang – orang perwakilan rakyat yang bertugas hanya untuk rapat untuk merumuskan peraturan – peraturan, memberi masukan kepada pemerintah, dll. Yang semuannya serba rapat. Padahal rapat itu enak, kita hanya tinggal duduk, mendengarkan, mendapat makanan atau snack atau mungkin pula sedikit ‘amplop’. Ya namanya juga perwakilan orang yang mewakili. Tapi anehnya banyak orang yang tidak suka kalau rapat, apa karena rapat itu mejenuhkan hanya mendengarkan, berbicara, duduk dalam ruangan begitu – begitu saja, berpikir, menulis, adu argumen atau debat kusir mungkin. Apa lagi kalau pada saat memberikan pedapat, pendapatnya dibantah atau tidak dianggap mungkin hati terasa nyelekit, rapat pun menjadi sangat – sangat menyiksa. Tapi, ya … saya tidak punya urusan dengan itu. Urusan saya hanya mengatakan bahwa Bupati tengah mengadakan rapat di Pendopo Kabupaten. Rapat itu dihadiri para pejabat tinggi pemerintahan daerah, para camat, para kepala desa. Maklum era repormasi harus keterbukaan, para wartawan pun saling mengintip dan menguping mengambil bagian dalam rapat untuk berita tapi lebih tepatnya untuk pekerjaannya ‘duit’. Para wartawan itu pun memberitakan dengan cepat kepada masyarakat hasil dari rapat itu. Tertulis dalam tinta hitam tebal di beberapa surat kabar “Pemda Kabupaten Bantu Desa Tertinggal” ada juga yang menulisnya dengan judul “Kepala Desa Berlomba Menjual Desanya ” ada juga salah satu surat kabar menulis “ Bupati, “ Masing – masing Desa Tertinggal Diminta untuk Mengajukan.”
* * * * *
Sudah satu bulan lebih rapat itu berlalu. Di meja kerja Bupati tengah berlangsung percakapan antara Bupati dengan stafnya. Staf tersebut tengah melaporkan program bantuan untuk desa tertinggal – miskin - . “Semua berkasnya sudah saya simpan di meja Bu. Ada delapan belas desa yang telah mengajukan, lima belas desa yang kami anggap masuk dalam kriteria seperti yang kita tentukan, telah kami tinjau kebenarannya, dan memang benar.”
Percakapan itupun tidak berlangsung lama namun meyakinkan karena diwarnai serba intruksi. Staf itu pun keluar dari ruang kerja Ibu Bupati. Seperti layaknya pejabat tinggi lainnya Bupati pun mengambil pulpen yang tertancap di tempatnya. Satu persatu map yang berisi berkas desa tertinggal - miskin – ia periksa dengan sangat teliti. Namun di tumpukkan map kesembilan ia berhenti dan menatapnya dengan heran. Tertulis desa dan nama kepala desa yang kemarin tidak ingin disebut sebagai desa MISKIN.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]



<< Beranda